Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Perjalanan yang Tak Pernah Padam: Marwan Hakim dan Jejak Asa yang Terus Berdampak dari Kaki Rinjani

 

Dokumentasi Pribadi. Wawancara dengan Marwan Hakim

Pagi itu, Aikperapa terasa lebih tenang dari yang saya ingat. Embun di ujung dedaunan berkilau lembut, seolah menunggu seseorang datang membawa cerita lama untuk dihidupkan kembali. Sudah bertahun-tahun sejak saya terakhir melangkah di tanah ini, sejak saya menutup buku catatan berisi kisah pria yang menolak menyerah pada takdir desa. Tetapi langkah saya berhenti bukan karena lelah—melainkan karena kehangatan yang perlahan kembali menyeruak di dada. Ada nama yang membuat saya kembali ke desa kecil di Lombok Timur ini, sebuah nama yang menjadi sinonim harapan.


Marwan Hakim

Sumber: @marwan_hakim_asryad
Saya mengingatnya sebagai sosok yang ceritanya pernah saya rekam pada 2019. Kini, 2025, saya kembali, bukan sekadar mencari kabar, tetapi menyaksikan apa yang tidak pernah saya sangka: cita-citanya ternyata tidak padam. Ia masih menyala, justru semakin terang, membuktikan filosofi bahwa kontribusi tulus akan selalu “Terus Berdampak” melampaui waktu.


Pertemuan di Gerbang Impian Sederhana

Saat saya tiba di depan rumahnya yang kini menjadi pusat kegiatan, suara anak-anak terdengar dari kejauhan—tawa, langkah-langkah kecil, gumaman belajar mengaji yang bergetar lembut di udara. Pemandangan itu, di tengah daerah yang secara statistik rentan putus sekolah, membuat saya tersenyum tanpa sadar. Ini adalah pemandangan luar biasa yang telah dipelihara oleh satu orang selama dua dekade.

Ketika Marwan keluar dari pintu rumahnya, ia tampak sedikit lebih dewasa dari yang saya ingat. Bahunya lebih tegap, wajahnya lebih matang, dan ada kerutan di sudut matanya yang menambah kebijaksanaan. Tetapi matanya masih sama: tenang, jernih, dan penuh ketulusan—mata seorang guru sejati.

“Kita ketemu lagi,” katanya sambil tertawa kecil, seperti menertawakan jarak waktu yang begitu panjang yang telah kita lalui.

Saya mengangguk.
“Dan kamu masih di sini, Wan. Di beranda rumah ini.”

Ia menepuk dadanya pelan, gerakan sederhana yang penuh makna.
“Selama anak-anak masih datang, saya nggak bisa pergi. Mereka adalah alasan saya tetap tinggal.”

Ada sesuatu dalam cara ia mengatakannya—bukan retorika, melainkan pernyataan jujur seorang anak desa yang memilih tetap berdiri di tempat di mana ia dibutuhkan. Ia memilih menyatakan diri di tempatnya berdiri, menolak menyerah pada tuntutan kota.

Konflik Klasik dan Filosofi Pembayaran Pisang

Dulu, Aikperapa punya konflik yang akut: minimnya akses ke pendidikan menengah adalah akar dari hampir semua masalah sosial di sini. Setelah tamat SD, pilihan anak-anak hanya dua: menempuh jarak puluhan kilometer ke kota kecamatan dengan biaya yang mencekik, atau berhenti sekolah dan mengulang nasib orang tua mereka sebagai TKI tanpa bekal keterampilan. Rantai TKI ilegal dan pernikahan dini menjadi bayangan gelap yang menghantui setiap keluarga.

Marwan, yang juga pernah mencicipi getirnya hidup di perantauan, memutuskan bahwa siklus itu harus diputus. Pada tahun 2004, ia mengambil risiko besar—ia membuka SMP darurat di rumahnya sendiri.

Saya sengaja menanyakan kembali tentang filosofi iuran sekolah yang unik itu, yang menjadi legenda di antara kisah-kisah pendidik di pelosok.

“Warga di sini kan petani. Kalau saya minta uang tunai, mereka pasti keberatan. Saya bilang, bawa saja apa yang ada. Jangan pusingkan uang,” jelasnya.

Marwan tertawa terbahak-bahak. “Itu benar sekali. Ada yang bayar pakai dua ikat pisang hasil kebunnya untuk iuran bulanan, ada yang pakai beberapa kilogram kopi saat musim panen tiba. Bahkan, ada yang membayar dengan selembar terpal bekas yang masih layak pakai untuk menambal atap yang bocor.”

Inilah “Satukan Gerak” yang sesungguhnya. Marwan tidak meminta uang, ia meminta kolaborasi dan kepedulian. Ia menyatukan keterbatasan fasilitas dengan kekuatan hati, mengubah rumah reot menjadi sekolah dengan modal kepercayaan masyarakat dan beberapa karung pisang. Pendidikan bukan lagi beban, melainkan aset kolektif desa.

Momen Legitimasi dan Dampak Ganda

Sumber: Semangat Astra Terpadu

Lulusan pertama SMP yang didirikan Marwan menjadi tonggak. Mereka membuktikan bahwa anak-anak Aikperapa mampu bersaing. Rantai pernikahan dini dan TKI ilegal mulai putus karena ada harapan yang ditanamkan.

Puncak pengakuan atas perjuangan ini datang pada tahun 2013, ketika Marwan Hakim dinobatkan sebagai Penerima Apresiasi SATU Indonesia Awards dari Astra di Bidang Pendidikan. Penghargaan ini bukan sekadar hadiah finansial, tetapi legitimasi bahwa filosofi pendidikannya yang otentik, yang lahir dari kearifan lokal, adalah model yang bisa ditiru.

“Penghargaan itu bukan garis akhir. Itu pintu. Setelah itu, saya merasa harus membuka lebih banyak pintu lagi untuk anak-anak,” ujarnya.

Setelah 2013, dampak Marwan “Terus Berdampak” secara ganda. Dana apresiasi digunakan untuk membangun bangunan yang lebih layak, membeli buku yang sangat dibutuhkan, dan yang terpenting: ia mampu merekrut dan membayar dua guru muda—alumni dari sekolahnya sendiri—sekaligus menciptakan lapangan kerja berkualitas di desa.

Kesaksian dari Bangku Sekolah

Di bangku-bangku plastik yang warnanya sudah memudar—di tengah ruang yang tidak ber-AC, tidak ber-proyektor, tetapi penuh semangat—saya menemukan bukti terbaik dari perjuangan Marwan.

Ia bercerita tentang anak didiknya yang bernama Siti (bukan nama sebenarnya). Dulu, Siti adalah anak paling pendiam, sering terlambat karena harus membantu orang tuanya di ladang. Kini, Siti adalah seorang perawat di rumah sakit besar di Mataram, kembali ke Lombok setelah menyelesaikan pendidikannya.

"Siti selalu bilang, 'Saya harus pulang sore, bukan malam'," kenang Marwan, mengulangi kalimat motivasi khas anak didiknya. Kalimat itu sederhana, tetapi terasa seperti tamparan lembut pada realitas: anak-anak datang bukan hanya untuk belajar membaca atau berhitung, mereka datang untuk menyimpan mimpi yang tidak ingin mereka lepaskan dari desanya.

Marwan juga bangga dengan alumni lainnya yang berhasil menembus perguruan tinggi negeri dan kini aktif sebagai aktivis lingkungan di Lombok Timur, meneruskan nilai-nilai konservasi Rinjani yang ditanamkan di sekolah alamnya.

Jejak yang Tidak Hilang

Saat matahari mulai turun, suara anak-anak mereda, dan angin sore membawa hawa sejuk dari kaki bukit. Saya menutup buku catatan saya. Kali ini, saya pulang membawa kesadaran yang lebih mendalam: Di negeri sebesar Indonesia, perubahan tidak selalu datang dari kota besar, melainkan dari beranda kecil di sebuah desa.

Perubahan itu hadir dalam bentuk seorang pemuda yang memutuskan untuk “Satukan Gerak” dengan cara yang paling tulus—menerima pisang dan terpal, demi sebuah cita-cita untuk “Terus Berdampak” pada nasib generasi penerus.

Marwan Hakim adalah bukti nyata bahwa pahlawan sejati adalah ia yang berani kembali ke akarnya, menyatukan kearifan lokal dengan semangat perubahan.

Dan Aikperapa… Tidak lagi terasa sunyi. Karena di sana, ada seseorang yang diam-diam terus bekerja, tanpa lelah, tanpa banyak bicara, tetapi meninggalkan jejak yang tidak mudah hilang. Jejak seorang penjaga mimpi bernama Marwan Hakim, dan kisah ini layak menjadi inspirasi bagi seluruh Indonesia.

----

Referensi:

1. Wawancara langsung dengan Marwan Hakim, 9 November 2025

2. https://www.facebook.com/share/1AFFsDQEuK/

3. https://youtu.be/Ol3qUk8sBRE?si=LAruyiprzZWHGugw

Lalu Teguh Jiwandanu
Lalu Teguh Jiwandanu [Sahabat yang paling dekat adalah tulisanmu, maka menulislah]
More About Me

Post a Comment for "Perjalanan yang Tak Pernah Padam: Marwan Hakim dan Jejak Asa yang Terus Berdampak dari Kaki Rinjani"